Adventure

Monday, April 20, 2009

"Nyepi" Day

Bali's day of silence

Every religion or culture all over the world has their own way to define and celebrate their new year. For example, the Chinese have the Imlek year and to celebrate it, have, as they called it in their own language, "Gong Xi Fat Choy". The Moslem societies have their Muharam year, and any of the people over the world using the Gregorian calendar, celebrate the New Year on January 1st. The same thing also occurs in Bali, however the Balinese use many different calendar systems. They have adopted the Gregorian calendar for business and government purposes. But for the endless procession of holy days, temple anniversaries, celebrations, sacred dances, building houses, wedding ceremonies, death and cremation processes and other activities that define Balinese life, they have two calendar systems. The first is the Pawukon (from the word Wuku which means week) and Sasih (which is means month). Wuku consists of 30 items starting from Sinta, the first Wuku and end up with the Watugunung the last one. The Pawukon, a 210-day ritual calendar brought over from Java in the 14th century, is a complex cycle of numerological conjunctions that provides the basic schedule for ritual activities on Bali. Sasih, a parallel system of Indian origin, is a twelve month lunar calendar that starts with the vernal equinox and is equally important in determining when to pay respect to the Gods. Westerners open the New Year in revelry, however, in contrast, the Balinese open their New Year in silence. This is called Nyepi Day, the Balinese day of Silence, which falls on the day following the dark moon of the spring equinox, and opens a new year of the Saka Hindu era which began in 78 A.D. Nyepi is a day to make and keep the balance of nature. It is based on the story of when King Kaniska I of India was chosen in 78 A.D. The King was famous for his wisdom and tolerance for the Hinduism and Buddhism societies. In that age, Aji Saka did Dharma Yatra (the missionary tour to promote and spread Hinduism) to Indonesia and introduce the Saka year. The lead upto Nyepi day is as follows: Melasti or Mekiyis or Melis (three days before Nyepi)Melasti is meant to clean the pratima or arca or pralingga (statue), with symbols that help to concentrate the mind in order to become closer to God. The ceremony is aimed to clean all nature and its content, and also to take the Amerta (the source for eternal life) from the ocean or other water resources (ie lake, river, etc). Three days before Nyepi, all the effigies of the Gods from all the village temples are taken to the river in long and colourful ceremonies. There, they have are bathed by the Neptune of the Balinese Lord, the God Baruna, before being taken back home to their shrines. Tawur Kesanga (the day before Nyepi)Exactly one day before Nyepi, all villages in Bali hold a large exorcism ceremony at the main village cross road, the meeting place of demons. They usually make Ogoh-ogoh (the fantastic monsters or evil spirits or the Butha Kala made of bamboo) for carnival purposes. The Ogoh-ogoh monsters symbolize the evil spirits surrounding our environment which have to be got rid of from our lives . The carnivals themselves are held all over Bali following sunset. Bleganjur, a Balinese gamelan music accompanies the procession. Some are giants taken from classical Balinese lore. All have fangs, bulging eyes and scary hair and are illuminated by torches.The procession is usually organised by the Seka Teruna, the youth organisation of Banjar. When Ogoh-ogoh is being played by the Seka Teruna, everyone enjoys the carnival. In order to make a harmonic relation between human being and God, human and human, and human and their environments, Tawur Kesanga is performed in every level of society, from the people's house. In the evening, the Hindus celebrating Ngerupuk, start making noises and light burning torches and set fire to the Ogoh-ogoh in order to get the Bhuta Kala, evil spirits, out of our lives. NyepiOn Nyepi day itself, every street is quiet - there are nobody doing their normal daily activities. There is usually Pecalangs (traditional Balinese security man) who controls and checks for street security. Pecalang wear a black uniform and a Udeng or Destar (a Balinese traditional "hat" that is usually used in ceremony). The Pecalangs main task is not only to control the security of the street but also to stop any activities that disturb Nyepi. No traffic is allowed, not only cars but also people, who have to stay in their own houses. Light is kept to a minimum or not at all, the radio or TV is turned down and, of course, no one works. Even love making, this ultimate activity of all leisure times, is not supposed to take place, nor even attempted. The whole day is simply filled with the barking of a few dogs, the shrill of insect and is a simple long quiet day in the calendar of this otherwise hectic island. On Nyepi the world expected to be clean and everything starts anew, with Man showing his symbolic control over himself and the "force" of the World, hence the mandatory religious control. Ngembak Geni (the day after Nyepi)Ngembak is the day when Catur Berata Penyepian is over and Hindus societies usually visit to forgive each other and doing the Dharma Canthi. Dharma Canthi are activities of reading Sloka, Kekidung, Kekawin, etc.(ancient scripts containing songs and lyrics). From the religious and philosophy point of view, Nyepi is meant to be a day of self introspection to decide on values, eg humanity, love, patience, kindness, etc., that should kept forever. Balinese Hindus have many kind of celebrations (some sacred days) but Nyepi is, perhaps the most important of the island's religious days and the prohibitions are taken seriously, particularly in villages outside of Bali's southern tourist belt. Hotels are exempt from Nyepi's rigorous practices but streets outside will be closed to both pedestrians and vehicles (except for airport shuttles or emergency vehicles) and village wardens (Pecalang) will be posted to keep people off the beach. So wherever you happen to be staying on Nyepi Day in Bali, this will be a good day to spend indoors. Indeed Nyepi day has made Bali a unique island.

HARI RAYA NYEPI

Kita semua tahu bahwa agama Hindu berasal dari India dengan kitab sucinya Weda. Di awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya) menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini.

Dan pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi. Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda. Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.

Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampal ke Indonesia. Kehadiran Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad. Dinyatakan Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, jüga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan! pengiring atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.

Rangkaian peringatan Pergantian Tahun Saka Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :

1. Upacara melasti, mekiyis dan melis. Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan). 2. Menghaturkan bhakti/pemujaan di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis. 3. Tawur Agung/mecaru di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit). Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya). 4. Nyepi (Sipeng) dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan). 5. Ngembak Geni. Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.

Artinya : Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.

Sesungguhnya seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan bhuana agung bhuana alit.

Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara din sejati (Sang Atma) seseorang umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam din manusia ada sang din /atrnn (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa).

Sima krama atau dharma Santi adalah dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada pengalaman selama ini. Maka dengan peringatan pergantian tahun baru saka (Nyepi) umat telah melakukan dialog spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama. Namun patut juga diakui bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun 2009 ini, ada saja godaannya. Baik karena sisa-sisa bhutakalanya, sisa mabuknya, dijadikan kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain. Dunia nyata ini memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk, menang-kalah, kaya-miskin, sengsara-bahagia dst. Manusia berada di antara itu dan manusia diuji untuk mengendalikan diri di antara dua hal yang saling berbeda bahkan saling berlawanan.

Kalau dituang dalam sebuah pantun boleh jadi sbb.: Dengan bunga membuat yadnya, melasti bersama pergi ke pantai. Jika agama hanya wacana, kondisi sejahtera - aman damai susah dicapai.

Maka agama harus dimengerti, dipahami, dilaksanakan atau diamalkan dengan baik dan benar.

Dharma Santi Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa. Dengan Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Di samping itu juga untuk berbincang-bincang perihal kehidupan bersama kita ke depan karena kondisi yang dihadapi akan semakin sulit dan semakin komplek, serba multi; multi etnis, multi dimensi, multi kepentingan, multi karakter dan multi kultural. Oleh karena itu dharma Santi dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap habis hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan dharma Santi atau sima krama, atau secara spiritual sering juga dilakukan jika ada upacara piodalan di Pura dengan “meprani”. Mesima krama, meprani atau dharma Santi merupakan ajang berdialog antar sesama tentang berbagai aspek kehidupan. Karena Weda menyatakan “Wasudewa kutumbakan” (seluruh dunia adalah bersaudana). Atau sarwa asa mama mitram bhawantu (Jadikanlah seluruh penjuru dunia sebagai sahabat kami).

Untuk skup Bali, hal ini analog dengan konsep menyama braya yang perlu dimantapkan melalui dharma Santi. Jadi pergantian Tahun Saka adalah peringatan dari kebangkitan dan pembaharuan. Nyepi adalah renungan kesadaran untuk pengendalian diri. Dharma santi adalah dialog sesama demi keseimbangan hidup lahir bathin. Demikian yang dapat disampaikan, semoga ada manfaatnya. Mohon maaf atas kekuragannya. “Selamat Hari Raya Nyepi tahun Baru saka 1931, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung kerta Wara nugraha kepada kita sekalian agar kita Santi, dapat meningkatkan bhakti sadana menuju Jagadhita yaitu dunia sejahtera. Om Ano bhadrah kratawo yantu wiswatah (semoga semua pikiran yang baik datang dari segala arah penjuru).

Oleh : Drs. I Gusti Made Ngurah, M.Si., IHDN – Denpasar (WHD No. 495 Maret 2008), dikutip dari www.parisada.org